Rabu, 27 Januari 2010

hassan al-banna dan terbitnya mentari harapan




salam alayk


lahirnya syaikhul tarbiyah imam syahid hassan al banna pada Oktober 14, 1906(1906-10-14)di Mahmoudiyah, Beheira, Mesir tatkala perginya seorang hero kaum muslimin , syaikh muhammad abduh pada 1905.

dia memang seorang yang di sediakan oleh ALLAH untuk ummat ini

tidak lama setelah era khilafah mengguling jatuh pada 1924, beberapa tahun setelah itu, dia sudah datang dengan idea bahawa khilafah akan kembali tertegak sedikit masa lagi sedangkan kondisi para muslimin pada saat itu sangat lemah.

beliau mengajak hati2 umat Islam berhimpun dan memahami sebenar-benarnya apa yang di kehendaki oleh agama.


sedikit yang saya ingin kongsikan bagaimana imam syahid pada hari2 awal usahanya

bagaimana dia menghadapi pelbagai masalah2, tentangan, kekeliruan dan sebagainya. masalah sikap kaum muslimin, bagaimana beliau menghadapi/ menangani pecahan2 muslimin. dan pelbagai lagi masalah, namun beliau hadir dengan solusi dan pendekatan yang sangat tepat dan efektif

mungkin ini sedikit yang dapat saya ambil sudutan/subtopik dari sebuah buku yang cukup menarik saya kira

"fiqh ikhtilaf; perbezaan pendapat antara gerakan Islam yang dibenarkan dan dilarang" (tajuk bahasa melayu) hasil karangan Dr. Yusuf al-Qaradawi, di alih bahasakan oleh Hasnan Kasan, pensyarah pusat pengajian umum UKM .







Hassan al-banna dan fiqh ikhtilaf

Di antara para mujaddid dan tokoh Islam di abad sekarang, Imam Hassan al-Banna adalah orang yang paling mengetahui tentang fiqh ikhtilaf dan perlunya persatuan kalimat antara jamaah dan perlembagaan Islam.


Dakwah Hassan al-Banna muncul ketika umat ditimpa musibah perpecahandan perselisihan dan segala bidang, baik di Mesir ataupun negeri-negeri Arab dan Islam.


Dalam bidang politik, terutamanya selepas kejatuhan khilafah, muncul beraneka ragam “bendera”. Tidak lagi “payung” yang menghimpun umat Islam di bawah panji akidah. Usaha-usaha yang dikerahkan untuk menghidupkan khilafah atau memindahkannya ke negeri lain mengalami kegagalan. Akibatnya, muncullah panji-panji nasionalisme yang saling bermusuhan. Kemudian terbentuklah parti-parti politik yang sepakat untuk tidak sepakat sehingga diperalat musuh-musuh Islam untuk memecah belahkan ummat.


Di bidang pemikiran, muncul seruan “pembaratan” dan ajakan untuk mengikuti peradaban Barat dalam segala bidang (baik dan buruknya, pahit dan manisnya). Mereka menginginkan demokrasi liberal dan kapitalisme sebagaimana yang diterapkan oleh barat.

Di pihak lain, muncul orang-orang yang memeperjuangkan sosialisme atau komunis.

Ada juga orang yang menyeru kepada uzlah (pengasingan diri) daripada peradaban Barat serta menyelamatkan diri daripada keburukannya dengan menutup semua jendela.

Di dalam bidang agama, terdapat berbagai barisan yang masing-masing mempunyai orientasi tersendiri.

Ada barisan Al-Azhar dengan mazhabnya yang empat dan perselisihan para ulama’nya berkaitan masalah ijtihad dan taqlid.


Ada barisan tasawuf dengan beraneka macam tarekat, syaikh dan para pengikutnya yang banyak tersebar dalam lapisan masyarakat.


Ada barisan jamaah-jamaah Islam yang juga beraneka ragam: seperti Jamiah Syariah, Jamiah Ansorus Sunnah, Jamiah Syubbanul Muslimin, Syababu Sayyidina Muhammad dan sebagainya.

Semenjak ustaz al-Banna memulai dakwahnya di Isma’iliyah, perpecahan dan perselisihan itu telah berkembang di kalangan jamaah-jamaah Islam, terutama antara kubu Salafiyyin dan kubu Sufi. Perpecahan dan perselisihan ini di bawa masuk ke dalam masjid, sehingga orang-orang yang solat berpecah menjadi dua kelompok yang saling mencela dan tidak mahu berjemaah di belakangnya bahkan hingga saling mengkafirkan. Hal ini yang membuatkan Imam al-Banna “meninggalkan” masjid. Beliau mengalihkan perhatian kepada jemaah lain yang bebas daripada “kuman” tersebut, sekalipun dari segi ketaatan agamanya agak kurang, iaitu orang-orang yang ada di dalam berbagai perkumpulan, warung kopi dan sebagainya.


Dalam menghadapi masalah perselisihan ini, Imam al-Banna telah mengambil langkah yang sangat bijaksana dan baik dari segi pemikiran dan agama. Beliau tidak menolak secara mutlak apa yang dikatakan oleh puak nasionalis, tetapi menerima sebahagiannya dan menolak sebahagian yang lain berdasarkan “kriteria” yang diambil dari Islam itu sendiri.


Beliau menerima di antara pengertian “nasionalisme” yang tidak bertentangan dengan Islam, sebagaimana dijelaskan dalam Risalah Da’awatuna.


Tetapi beliau memberikan perhatian besar terhadap perselisihan dalam masalah agama. Masalah ini dibahaskan dalam berbagai risalahnya. Bahkan beliau merumuskan “Dua puluh prinsip” agar dijadikan batas minimum bagi jamaah-jamaah Islam yang memperjuangkan Islam untuk menggalang persatuan. Oleh sebab itu, beliau meninggalkan sebahagian masalah tanpa memberikan “keputusan” yang muktamad seperti dalam masalah tawasul, tatacara peribadatan dan sebagainya, kerana menginginkan persatuan barisan dan kalimat.


Itu sebabnya, mengapa seluruh perhatiannya dicurahkan kepada masalah-masalah besar bukan kepada masalah-masalah kecil. Kerana yang pertama akan membuahkan persatuan sedangkan yang kedua mengakibatkan perpecahan.


Barangkali perlu kami titipkan di sini apa dikemukan oleh Imam al-Banna di dalah risalah Da’watuna dengan sikap dakwah terhadap perselisihan agama. Risalah ini menunjukkan kefahaman yang mendalam, pandangan yang tajam dan keinginan penulisnya sejak awal dalam membina bukan menghancurkan, menghimpunkan, bukan memecah belahkan.

Imam al-Banna rahimahullah berkata;


“Kini saya akan berbicara kepada anda tentang dakwah kita berkenaan dengan perselisihan keagamaan dan perbezaan pendapat tentang mazhab-mazhab.”


الصحوة الإسلامية بين الاختلاف المشروع و التفرق المذموم
FIQH IKHTILAF; perbezaan pendapat antara
gerakan Islam yang dibenarkan dan dilarang
bab penutup (bab terakhir)
Dr.Yusuf al-Qaradawi
As-Syabab Media
cetakan oktober 2003 (versi B.M)


1 ulasan:

herizal alwi berkata...

Hasan Al-Banna, meninggal ditembak di jalan, dan ketika dibawa ke rumah sakit, tak ada dokter yang menolongnya. Saat dibawa ke kuburan tak diizinkan pengikutnya mengantarkan jenazahnya, kecuali keluarganya, anak dan isterinya. Selebihnya, penggantinya seperti Hasan Hudaibi, Umar Tilminasi, Hamid Abu Nashr, Mustafa Masyhur, Ma’mun Hudaibi, Mahdi Akif, dan sekarang Muhammad Badie, mereka yang terpilih sebagai Mursyid ‘Aam Ikhwan itu, pernah menjalani kehidupan di penjara dalam kurun waktu yang panjang.

Tak sedikit para tokoh Ikhwan itu, yang mengakhiri kehidupannya dengan keyakinan yang teguh, dan menerima dengan penuh keikhlasan, karena itu menjadi cita-cita tertinggi mereka, yaitu ‘al mautu fi sabilillah asma amanina’ (mati syahid adalah cita-cita tertinggi kami). Mereka telah membuktikan dengan tulus. Sayyid Qutb, di saat berada ditiang gantungan, sebelum hukuman itu, dilaksanakannya, dibisiki oleh pejabat Mesir, agar Qutb mau bersama-sama dengan Gamal Abdul Nasr, tapi orang kedua sesudah Hasan al-Banna, di bidang pemikiran itu, memilih digantung. “Aku tak akan pernah menukar keyakinanku dengan apapun”, ucapnya sebelum digantung.


Banyak tokoh Ikhwan, seperti al-Qardhawi, Sayyid Qutb, Yusuf Hawasy, Abdul Fatah Ismail, Muhammad Firgali, Yusuf Thala’at, Handawi Duwair, Ibrahim Thayib, Muhammad Abdul Latif, Ali Audah, dan lainnya, mereka bisa hidup dimanapun dengan penuh lapang. Tak ada yang syak atas janji Allah Azza Wa Jalla. Maka, mereka dapat menerima kondisi apapun yang mereka hadapi, termasuk pahitnya penjara militer Liman Turoh, yang penuh dengan kekajaman itu. Mereka dicambuki, diadu dengan anjing yang besar, digantung dengan hanya satu kaki, berbagai penyiksaan lainnya, tak membuat mereka bergeming dengan ‘ghoyah’ (tujuan) yang hendak mereka wujudkan, yaitu kehidupan akhirat yang penuh kemuliaan, dan mendapatkan ridho dari Allah Azza Wa Jalla.

Mengapa para kader dan tokoh-tokoh Ikhwan mampu tetap bertahan dalam kehidupan yang amat sulit itu? Tak lain, karena mereka telah menjadikan Al-Qur’an sebagai belahan hati, pelita cahaya dalam kesedihan mereka. Mereka tak pernah lepas dengan al-Qur’an. Hampir setiap kader dan tokoh Ikhwan telah menjadikan Al-Qur’an wirid harian mereka. Mereka selalu membaca al-Qur’an. Mereka menghafal al-Qur’an, mempelajari isinya, dan terus berusaha memahami artinya. Luar biasa. Tak ada sel yang sepi dari bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan para ikhwan di dalam sel. Mereka umumnya menguasai pembacaan al-Qur’an dengan baik, dan mengetahui hukum tajwid.

Mereka juga mendekatkan diri pada Allah dengan membuat halaqah al-Qur’an dan mengajarkan ilmu al-Qur’an yang mereka miliki. Maka, para kader dan tokoh Ikhwan, yang berada dipenjara, ketika pagi, sore dan malam, mirip suara lebah, dan menggetarkan hati. Al-Qur’an membimbing mereka menjadi pribadi yang tangguh dan kokoh, menghadapi segala cuaca dan badai kehidupan, dan tidak pernah bergeser, seincipun dari prinsip-prinsip (mabda’), yang menjadi dasar perjuangan mereka.

Sampai saatnya datang para penguasa itu, tidak suka melihat para Ikhwan yang ada dipenjara militer itu, bisa menikmati hidup dengan al-Qur’an. Bahagia bersama degan al-Qur’an. Seperti dikatakan Sayyid Qutb, yang pernah dipenjara di Liman Turoh, yang mengatakan, ‘Betapa nikmatnya hidup dibawah al-Qur’an’, ucapnya. Lalu, penguasa itu dengan geramnya, masuk ke sel-sel, dan memerintahkan para Ikhwan merampas semua mush’af al-Qur’an, kemudian mush’af al-Qur’an itu di kumpulkan dan bakar.`

Betapapun, mereka yang melihat dengan peristiwa itu, bertambah kuat keyakinannya, dan semakin semangat menegakkan cita-citanya, sampai hari ini, tanpa mau berkompromi dengan kebathilan,walau seincipun. Mereka tetap hidup dengan al-Qur'an dan Sunnahnya. Wallahu’alam. (berbagai sumber)